Makin Banyak Ditolak, RUU Cipta Kerja Rugikan Pekerja hingga Kaum Petani

  • Whatsapp

JAKARTA, KABARNUSANTARA.ID – Dengan kondisi akan segera disahkan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja masih mendapatkan banyak pertentangan dari masyarakat, pertentangan muncul karena banyak poin-poin yang tidak menguntungkan semua pihak.

Bhima Yudhistira Peneliti ekonomi Indef menyebutkan beberapa pihak merasa dirugikan dengan poin-poin yang ada di dalam Omnibus Law Cipta Kerja, menurutnya, klaster ketenagakerjaan menjadi salah satu yang memiliki banyak masalah dan cenderung merugikan para pekerja.

Bacaan Lainnya

Ia menyebut buruh akan dirugikan dengan poin pengurangan hak pesangon yang membuat daya beli konsumsi turun, apalagi di tengah kondisi pandemi ancaman PHK menghantui para pekerja, bila pesangon dikurangi, maka akan sangat merugikan buruh yang terpaksa terkena PHK.

“Di klaster ketenagakerjaan sendiri pengurangan hak pesangon akan menurunkan daya beli buruh, ini tidak bisa diterima oleh pekerja yang saat ini rentan di-PHK. Padahal, buruh membutuhkan pesangon yang adil untuk mempertahankan biaya hidup di saat sulit mencari pekerjaan baru,” ujar Bhima kepada detikcom, Senin (5/10/20).

Masalah lainyaitu mengenai kontrak yang diizinkan tanpa memiliki batas waktu. Hal ini membuat ketidakpastian bagi buruh, ada ancaman pekerja bisa dikontrak tanpa diangkat jadi karyawan tetap.

“Kemudian soal kontrak terus menerus tanpa batas akan membuat ketidakpastian kerja meningkat. Jenjang karier bagi pegawai kontrak pun tidak pasti karena selamanya bisa dikontrak,” jelas Bhima.

Dalam hal ini pengusaha diuntungkan karena bisa menekan biaya tunjangan-tunjangan untuk pekerja yang pensiun atau pesangon untuk pekerja yang di-PHK, hak-hak pekerja kontrak pun tentu tidak akan sebanyak karyawan tetap.

“Praktek ini merupakan strategi pengusaha untuk menekan biaya pensiun atau pesangon dan tunjangan lain, tapi merugikan pekerja karena haknya tidak sama dengan pegawai tetap,” ungkap Bhima.

Tak hanya buruh, Bhima mengungkapkan petani juga akan dirugikan. Dia menyebutkan di dalam Omnibus Law Cipta Kerja ada klausul impor pangan yang disamakan dengan produksi pangan, hal ini dinilai membuat impor pangan lebih mudah dilakukan daripada menyerap produksi pangan petani lokal.

“Gelombang penolakan pasti terjadi dan bukan hanya buruh tapi juga elemen lain yang merasa dirugikan haknya. Mulai dari petani karena ada klausul impor pangan disamakan dengan produksi pangan dan cadangan nasional,” kata Bhima.

Kemudian, ada juga soal izin lahan yang bisa merugikan masyarakat adat. “Sampai masyarakat adat yang merasa dirugikan dalam persoalan izin lahan,” ungkapnya.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan pembahasan Omnibus Law sangat terburu-buru. Dia menilai DPR dan pemerintah juga tidak terbuka untuk menampung aspirasi masyarakat luas.

“Pertentangan pasti akan terjadi apabila kesepakatan belum ada pada poin substansi dari semua pihak. Kalai saya lihat ini banyak aspirasi yang belum diakomodasi, maka wajar ini jadi pertentangan,” ungkap Faisal.

“Saya rasa ini (Omnibus Law) terlalu diburu-buru dan tergesa-gesa, sehingga banyak yang tidak diakomodir,” lanjutnya.

Faisal juga menilai, Omnibus Law Cipta Kerja saat ini hanya mementingkan kepentingan pengusaha dan dunia bisnis.

“Kalau saya lihat dari luar banyak pertentangan, saya rasa mungkin bisa jadi lebih banyak aspirasi pengusaha saja yang diakomodir dibanding pihak lain,” kata Faisal.

Pos terkait