Omnibus Law Dinilai PWYP Cacat Prosedur dan Berimplikasi Buruk Terhadap Tata Kelola SDA

  • Whatsapp

JAKARTA, KABARNUSANTARA.ID – Lagi dan lagi, publik dikejutkan dengan pengesahan Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja melalui sidang paripurna ke-7 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin, 5 Oktober 2020. Seolah mengulang budaya buruk pengambilan keputusan terhadap sejumlah UU kontroversial lainnya seperti revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK).

Di tengah pandemik Covid-19, DPR secara tiba-tiba mempercepat agenda Pembicaraan Tingkat II pengambilan keputusan atas RUU Cipta Kerja tanpa menghiraukan protes masyarakat yang mendesak dilakukannya penundaan atau pembatalan pengesahan UU tersebut.

Bacaan Lainnya

Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menilai gelombang kekecewaan, penolakan dan kemarahan publik atas disahkannya UU Omnibus Law ini diakibatkan oleh proses penyusunan dokumen yang sejak awal sudah bermasalah, baik dari sisi prosedur maupun substansinya.

“PWYP Indonesia mencatat, sejak ide Omnibus Law ini digulirkan Jokowi, publik kesulitan untuk mendapatkan draf Naskah Akademis (NA) maupun draft RUU Cipta Kerja itu sendiri, pemerintah cenderung tertutup dan kurang memberikan akses bagi publik untuk mendapatkan informasi serta memberikan masukan, terutama pada tahap penyusunan sebelum RUU disampaikan ke DPR, 1 Hal ini diperparah dengan proses pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR yang relatif tertutup tanpa melibatkan partisipasi publik luas,” ujar Aryanto Nugroho Koordinator Nasional PWYP Indonesia melalui release yang diterima kabarnusantara.id Kamis (08/10/20) sore.

Bahkan ia menilai pembicaraan Tingkat I pun diketahui dilakukan pada waktu malam akhir pekan (3/10/2020) sehingga minim sorotan publik dan menimbulkan kesan adanya upaya menghindari kritikan dan penolakan publik yang makin menguat, khususnya dari kalangan buruh, petani, nelayan, akademisi, serta para pegiat lingkungan.

Pembahasan dan pengesahan UU Omnibus Law ini juga melenceng jauh dari mekanisme penyusunan UU sebagaimana telah diatur dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahkan, sebagian kalangan menyebut UU ini secara substansi berpotensi bertentangan dengan Konstitusi Negara khususnya tentang tujuan bernegara dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan maupun batang tubuh Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.

“Berdasarkan hasil temuan, UU Cipta Kerja ini akan membawa impikasi yang buruk terhadap pengelolalan sumber daya alam (SDA) di Indonesia, di sektor pertambangan minerba misalnya, UU ini hanya memberikan stempel terhadap pengesahaan UU No. 3 Tahun 2020 (UU Minerba) yang secara prosedur2 dan substansinya tidak kalah bermasalah dan juga mengundang kritikan dan penolakan dari publik,” jelasnya.

Bahkan ia menyebut secara praktis UU Omnibus Law mengamini seluruh perubahan yang terdapat dalam UU Minerba saat ini dan hanya menyisipkan 1 (satu) pasal yaitu pasal 128 A tentang pemberian intensif kepada pengusaha tambang dan mengubah 1 (satu) pasal lainnya, yaitu pasal 162 tentang pengaturan pidana terhadap pihak yang mengganggu kegiatan usaha pertambangan.

“Pasal 128 A yang disisipkan dalam UU Cipta Kerja merupakan suatu pemberian insentif berlebihan yakni berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen) bagi pengusaha batubara yang melakukan kegiatan peningkatan nilai tambang, dimana pengaturannya akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) – Perlu dicatat bahwa RPP Pengusahaan Pertambangan yang saat ini digodok pemerintah pun tak luput dari kontroversi. 3 Pengenaaan royalti sebesar 0% (nol persen) ini diperhitungkan akan berdampak pada penurunan drastis Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba ke daerah,” ujarnya.

Masih menurut Aryanto, pasal 162 dalam UU Cipta Kerja merupakan pasal yang dapat meningkatkan potensi terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat sekitar tambang maupun pegiat lingkungan, hal ini di khawatirkan akan menimbulkan konflik-konflik baru antara masyarakat yang tidak setuju dengan adanya aktivitas pertambangan di suatu wilayah yang dianggap merugikan meski sudah mendapatkan izin.

“Tak hanya itu, UU Omnibus Law ini juga diduga mendukung pemberian pengistimewaan bagi pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan (KK/PKP2B) yang masa kontraknya akan habis, mendukung hilangnya pasal pidana yang dapat menjerat pejabat negara dalam menerbitkan izin pertambangan minerba bermasalah, memberikan insentif berlebihan bagi eksploitasi SDA tanpa memperhatikan aspek kepentingan ekologis dan perlindungan lingkungan hidup, serta pengembangan energi terbarukan dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan,” paparnya.

Oleh karena itu, Koalisi PWYP Indonesia menilai tata kelola SDA di Indonesia akan semakin bernasib buruk dengan hadirnya sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja terutama ketentuan yang mereduksi kewenangan pemerintah daerah, serta menghilangkan tanggungjawabnya dalam hal pembinaan dan pengawasan aktivitas pertambangan di masing-masing wilayahnya.

Penarikan kewenangan perizinan dari daerah ke pusat ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang selama ini dikembangkan, dan berpotensi menggiring Indonesia menuju negara yang sentralistik. Omnibus Law yang dirancang untuk memberi kepastian hukum, justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dengan banyaknya aturan turunan yang akan dibuat melalui Peraturan Pemerintah (PP).

“Pengalaman menunjukkan bahwa terdapat aturan dalam bentuk PP yang ditengarai berpotensi melanggar UU, seperti misalnya PP di sektor ESDM yang memberikan kelonggaran (relaksasi) atas kewajiban larangan ekspor dan pembangunan fasilitas hilirisasi bagi pertambangan Minerba yang dianggap bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 2009, apalagi, UU Omnibus Law ini hanya memberikan waktu kepada Pemerintah untuk menyelesaikan seluruh PP dan Peraturan Presiden sebagai aturan turunannya dalam waktu 3 (tiga) bulan saja (Pasal 185),” tambahnya.

Belum lagi, dengan adanya sejumlah pasal dalam Omnibus Law yang mengubah diksi izin lingkungan sebagai syarat resmi meliputi AMDAL atau UKL-UPL menjadi persetujuan lingkungan yang hanya perlu mencantumkan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup bagi pelaku usaha berpotensi menimbulkan masalah baru, mereduksi norma pertanggung jawaban mutlak dan pertanggung jawaban pidana korporasi, meghapus hak masyarakat sipil dan organisasi pemerhati lingkungan untuk melakukan gugatan terkait kerusakan lingkungan, dan tidak adanya penegasan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses informasi kelayakan lingkungan hidup dengan mudah.

“Maka dapat disimpulkan, pasal-pasal bermasalah dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan ini tidak hanya akan berdampak negatif pada sektor SDA, melainkan di banyak sektor lainnya,” pungkasnya.

Sehingga, sejalan dengan gelombang kritik publik yang terus disuarakan oleh berbagai kalangan, PWYP Indonesia menyatakan MENOLAK Omnibus Law UU Cipta Kerja dan mendesak Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terhadap UU tersebut demi memastikan tata kelola SDA yang lebih baik di kemudian hari.

Koalisi Publish What You Pay Indonesia:
Forum Himpunan Kelompok Kerja-30 (FH Pokja-30)

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Jawa Timur

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau

Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR)

Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GERAK) Aceh

Indonesia Parliamentary Center (IPC)

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Institute for Ecological Studies (INFEST)

Instutute for Essential Service Reform (IESR)

Lembaga Pemberdayaan dan Aksi Demokrasi (LPAD) Riau

Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan pedalaman (LePMIL)

Lembaga Pengembangan Masyarakat Swadaya dan Mandiri (GEMAWAN)

Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) NTB

Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)

Perkumpulan Terbatas Pengembangan Masyarakat dan Konservasi Sumber Daya Alam (PERDU) Manokwari

Perkumpulan Ide dan Analitika Indonesia (IDEA)
Perkumpulan Padi Indonesia

Pusat Studi Kebijakan Publik dan Advokasi (PUSAKA) Sidoarjo

Pusat Studi Pemberdayaan Anak dan Perempuan (PUSPA) Indonesia

Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO)

Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Banten

Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (SOMASI) NTB

Swandiri Institute Transparency International Indonesia (TII)

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTB

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau
Yayasan Akar Bengkulu

Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (YASMIB) Sulawesi

Pos terkait