Tumpukah Sampah di Jakarta Bikin Risih Warga

  • Whatsapp
Ilustrasi Sampah di Jakarta yang kian haris semakin banyak Sumber : Merdeka.com

JAKARTA|KABARNUSANTARA.ID – Ibu Kota Jakarta selalu punya bahasan ragam masalah terjadi di dalamnya, sebagai ibu kota Indonesia berbagai hal menjadi seksi untuk dibahas. Mulai dari kemacetan yang dianggap menyiksa setiap harinya. Kehidupan sosial tidak merata. Ditambah persoalan sampah membikin risih dan resah warga sekitarnya.

Dari data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, produksi sampah di Jakarta mencapai 7000 ton lebih setiap hari. Semua bermuara ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Kota Bekasi.

Bacaan Lainnya

Besarnya jumlah tersebut membuat merinding. Apalagi jika tak ada penanganan serius bagi tumpukan sampah tersebut, siap-siap saja jika suatu saat Bantargebang harus menutup diri.

“Ada 7.800 ton sampah yang masuk ke Bantargebang setiap harinya. Kalau tambah 10 persen yang terkelola dengan baik di sumber seperti dipilah atau di bank sampah, maka total timbulan sampah lebih kurang 8.000 ton,” ujar Kepala Unit Tempat Pengelola Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, dikutip dari merdeka.com, akhir pekan lalu di kantornya.

Jika dihitung mayoritas, sampah yang dihasilkan warga Jakarta tidak berbeda dengan daerah lainnya, sampah organik berada di angka 55-60 persen. Saat diambil petugas, sampah dalam keadaan tercampur organik dan nonorganik. Tidak ada proses pemilahan.

“Yang menjadi kesulitan pengelolaan sampah di Jakarta itu adalah sampah tidak pernah berkurang dari tahun ke tahun, justru selalu naik. Kita juga kewalahan,” jelas Asep.

Pada tahun 2013, sampah Jakarta masuk ke Bantargebang berjumlah 5.600 ton per hari. Lalu meningkat menjadi 5.664 ton pada 2014m di tahun 2015 menjadi 6.400 ton. Kemudian 2016 menjadi 6.500 ton dan 2017 sebanyak 6.875 ton, dan terus meningkat di 2018 menjadi 7.500 ton dan saat ini pertengahan 2019 di angka 7.800.

Peningkatan produksi sampah di Jakarta sayangnya tidak berbanding lurus dengan pengelolaan maksimal. Hal itu diakui Asep.

Masyarakat belum teredukasi secara baik manfaat pilah sampah. Sampah bernilai ekonomis seperti plastik atau wadah makanan justru digabungkan dengan sampah rumah tangga. Kondisi tersebut membuat nilai jual sampah plastik menjadi hilang. Akhirnya, semua berakhir di Bantargebang.

Penyebab lainnya, keberadaan bank sampah di permukiman warga masih sangat minim. Padahal keberadaan bank sampah sangat membantu proses pilah sampah dari rumah tangga yang dibawa petugas. Semakin minim proses pilah dilakukan, maka semakin banyak sampah dihasilkan dan bermuara di Bantargebang.

Jumlah tersebut belum termasuk sampah sumbangan kawasan mandiri seperti mal, apartemen dan hotel. Seharusnya, mengacu pada Perda Nomor 3 tahun 2013 tentang Pengolahan Sampah, semua pemilik kawasan mandiri wajib mengolah sampahnya sendiri. Fakta saat ini, kawasan mandiri baru sebatas mengangkut sampah bekerja sama dengan pihak swasta. Pembuangan akhirnya, tetap di Bantergebang.

“Faktanya dari ribuan jumlah kawasan, baru 649 kawasan mandiri yang mengangkut sampah sendiri dengan gandeng swasta, namun belum mengolah sampah sendiri. Nantinya kita paksa supaya kawasan-kawasan itu mau melakukan itu. Kita juga menyiapkan aturan semisal kita akan cegat ke perizinan pembangunan hingga pengurusan izin domisili, kalau dia tidak kelola sampah. Izin-izin itu akan kita tunda sampai mereka kelola sampahnya sendiri,” tegas Asep.

Jumlah sampah yang tidak terbendung membuat kondisi TPST Bantergebang kian sempit. Hampir tak ada lagi titik untuk menampung sampah warga Jakarta. Kapasitas awal 40 juta ton sampah terus menyusut. Hingga kini tersisa 10 juta ton.

“Kami sudah mulai sounding kapasitas maksimum Bantargebang itu dari 2 tahun lalu. Bahwa kapastias maksimum Bantargebang itu tinggal di 2021. Kapasitas maksimumnya adalah 40 juta ton, sekarang sudah hampir 30 juta ton, dan sisanya adalah 10 juta ton,” tegas dia.

“Tapi, masyarakat Jakarta ini terlalu terlena. Sehari tidak diangkat mereka diam, dua hari mereka ribut, tiga hari mereka lapor ke. Semudah itu masyarakat Jakarta,” sambung pria berkacamata ini.

Padahal, kata Asep, penggambaran kondisi itu sebenarnya sebagai cambuk. Agar semua pihak terus peduli menyikapi persoalan sampah ibu kota.

“Kuncinya ada di masyarakat, kalau sampah organik dan non-organik terpisah dan kemudian bisa dikelola secara baik, Bantargebang enggak akan mennjadi beban lagi. Masalah sampah di Jakarta, di Indonesia umumnya, adalah karena sampahnya masih tercampur hingga tidak bisa dimanfaatkan oleh industri daur ulang kita,” katanya.

Sembari itu, Pemprov DKI terus putar otak mencari solusi terbaik untuk mengatasi kondisi Bantargebang. Namun di balik upaya itu, kesadaran masyarakat hal utama memerangi sampah.

“Kurang awarenya kita terhadap sampah akhirnya menimbulkan gejolak biaya penanggulangan sampah yang tinggi. Tahun ini saja anggarannya mencapai Rp 3,781 triliun. Padahal cara kurangi sampah tidak susah, asalkan mau melakukan pilah sampah organik dan non-organik,” Pungkasnya.

Reporter : Hdr

Pos terkait